Tausyah
H. Budi Suhari, S.Pt., CNW.

Mitigasi Risiko Akhirat dengan Amalan Wakaf


Oleh :

H. Budi Suhari, S.Pt., CNW.

Komisioner Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Riau

Ketua Bidang Zakat dan Wakaf Masyarakat Ekonomi Syariah Kota Pekanbaru

Ketua Yayasan Rotte Indonesia Mulya

Direktur Universal Wakaf

 

Abdurrahman bin Auf merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang paling awal masuk agama Islam (As-Sabiqunal Awwalun), dan beliau termasuk ke dalam 10 sahabat nabi yang dijamin masuk surga.  Abdurrahman bin Auf adalah merupakan seorang sahabat dan saudagar yang kaya raya.

Pernah suatu ketika saat Rasulullah SAW telah wafat, di kota Madinah yang tenang, tiba-tiba debu naik ke atas dan terdengar gemuruh gagap gempita sampai semua orang keluar dari rumah dan bertanya “Apa ini? siapa yang datang?” lalu seseorang berkata kepada Aisyah ra. “Itu adalah 700 khafilah dagang milik Abdurrahman bin Auf” maka Aisyah ra. pun berkata “Aku teringat dengan perkataan Rasulullah. Abdurrahman bin Auf memang dijamin masuk surga bersama sahabat lain, namun ia masuk surga dengan keadaan merangkak (paling belakangan)” (Al-Kanz, no. 33500).

Dengan harta yang semakin melimpah membuat Abdurrahman bin Auf berpikir bahkan ketakutan karena harta dan kekayaaannya dikhawatirkan akan membuatnya lama dihisab oleh Allah SWT dihari akhir nanti, maka beliau terus memberikan hartanya dijalan Allah SWT dengan jalan sedekah.

Abu Thalhah (Zaid bin Sahl) seorang sahabat dari kalangan Anshar yang memiliki kebun bernama Bairuha’ yang terletak tidak jauh dari Masjid Madinah, sebagai harta paling dicintai dan dibanggakannya.

Suatu waktu, Rasulullah SAW biasa masuk ke dalam kebunnya dan berteduh di sana serta minum dari airnya. Tak lama setelah kejadian itu turun ayat Alquran dimana para ulama yakin bahwa ayat ini merupakan perintah untuk berwakaf, yang berbunyi :

“Sekali-kali kamu tidak sampai pada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92).

Setelah ayat di atas sampai ke telinga Abu Thalhah (Zaid bin Sahl). Kemudian, ia bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Aku ingin mengamalkan apa yang diperintahkan Allah untuk menyedekahkan apa yang kita cintai, wahai Rasulullah. Dengan harapan mendapatkan kebaikan sekaligus sebagai simpanan di sisi Allah. Maka ambillah dan letakkan ia di tempat yang pantas menurutmu. Terimalah kebun Bairuha’, satu-satunya harta yang aku miliki, sebagai sedekah (wakafkan). Aku serahkan kepada anda agar hasilnya untuk dibagi-bagikan kepada orang yang membutuhkan.”

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang berbunyi :

”Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, Imam Nawawi merincikan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah adalah wakaf. Sedekah jariyah (wakaf) adalah sedekah yang pahalanya akan terus mengalir bahkan setelah kematian dari orang yang bersedekah selama harta sedekahnya masih bermanfaat untuk kebaikan masyarakat muslim pada umumnya.

Seorang sahabat Rasulullah yang terkenal dermawan adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dimana beliau membebaskan dan membeli  Sumur Raumah di Madinah dari seorang Yahudi, lalu beliau mewakafkan Sumur Raumah tersebut untuk umat. Sejak itu, sumur tersebut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya. Setelah diwakafkan, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah 1.550 pohon.

Departemen Pertanian Saudi kemudian menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedangkan setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama Utsman bin Affan. Beliau sudah wafat lebih dari 1.400 tahun silam, tetapi rekening bank atas namanya masih terjaga hingga kini dan pahala manfaat wakaf beliau terus mengalir hingga kini.

Pada saat kita berada di daratan tentu sebuah pelampung tidaklah mempunyai nilai dan harga apa-apa. Berbeda pada saat kita berada di tengah laut di sebuah kapal yang sudah miring dan akan tenggelam. Tentu pelampung ini akan sangat berharga sekali dalam situasi ini, bahkan setiap orang akan menginginkannya, hingga berapapun kekayaan yang ada ditangannya saat itu akan diberikan untuk mendapatkan pelampung itu.

Dalam saat kita masih hidup ini barangkali bersedakah (berwakaf) tidak begitu dianggap penting. Namun setelah memasuki masa kematian mulai dari alam barzah, maka sedekah (wakaf) ini akan menjadi pelindung pemiliknya.

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya sedekah akan memadamkan panas kubur bagi pelakunya. Sungguh pada hari kiamat, seorang mukmin akan berlindung di bawah naungan sedekahnya.” (Silsilah As-Shahihah, 3484).

Dalam Alquran juga diungkapkan bahwa sedekah merupakan perkara yang paling ingin dilakukan orang yang meninggal seandainya dia dihidupkan lagi ke dunia. Allah SWT berfirman :

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al Munafiqun 10).

 Sehingga bagi mukmin yang cerdas berinvestasi, maka ia akan investasikan hartanya untuk pahala produktif yang mengalir sepanjang masa sehingga terus memperberat timbangan amalnya terus menerus walaupun si pemilik harta yang bersangkutan telah wafat.

Harta apabila ditinggalkan menjadi rebutan…

Harta apabila dimakan menjadi kotoran…

Harta apabila disedekahkan (Wakafkan) menjadi naungan..

Maka si pemilik harta yang diwakafkan adalah seorang mukmin yang cerdas dimana ia telah menyiapkan mitigasi resiko akhirat bagi dirinya.

 

 

 

 

 

 

 

Scroll to top