Merajut Harapan yang Koyak Bersama Rotte Foundation


Rotte Foundation memberikan bantuan Program Ekonomi kepada salahsatu warga Tangkerang, Pekanbaru.
Senin 28 September 2020 17:59:44 WIB

Kiranya September Ceria yang didengungkan selama ini tak selamanya menunaikan janjinya. Bukan saja pandemi covid yang masih enggan pergi, cuaca belakangan juga tak semesra dulu lagi. Adakala di tengah sengat mentari mendadak gulita menyapa lalu air langit seperti jutaaan anak panah yang menghujam bumi.

Senin siang menyapa kawasan Bukit Barisan. Tengah hari begitu hawa lembab, namun udara gerah dari biasa. Lalulalang pengguna lebuh raya lengang. Padahal permulaan pekan. Zona merah yang kembali singgah di Kota Bertuah sepertinya membuat warga berpikir ulang untuk keluar, meski sekedar urusan kantoran ataupun mencari makan.

Dari lantai tiga Rotte Foundation, pandangan dilayangkan ke angkasa. Langit membiru awan bertali. Hanya dalam hitungan detik, langit itu berubah kelabu lalu mengirim gerimis tipis-tipis. Namun tak dalam perlu dalam hitungan jam, langit kembali berwajah cerah.

Seorang perempuan paruh baya bersama seorang kawannya menyambangi Rotte Foundation siang itu. Suprihatin (61) menuturkan, sebelum mendapatkan bantuan modal dari Program Ekonomi Rotte Foundation, ia mengaku dibalut gamang. Usaha warung harian miliknya di Jalan Bunga Raya, RT003/RW006, Kelurahan Tangkerang Selatan, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru tengah dalam kondisi terpuruk. Padahal, dari warung berukuran 3 x 2,5 meter ibu dua anak ini merengguk rezeki guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Pasalnya, kondisi yang dialami usaha warung harian Suprihatin amat klasik. Tak lain lantaran dirinya kesulitan mengakses modal. Kekurangan modal memang menjadi masalah umum pedagang kecil seperti Suprihatin. Mereka dianggap tidak mumpuni sehingga tidak dapat mengakses modal. "Apalagi sejak suami pindah cari kerja ke Koto Gasib Siak, buat nambah modal jualan susah," ujarnya terbata.

Keadaan warung harian Suprihatin justru benar-benar memprihatinkan. Imbas corona harga jual beli tak bisa diraba menjadi pemantik kesekian kali yang membuat usaha warungnya nyaris tinggal nama. Sementara buat bersaing dengan minimarket jelas bukan tandingannya. Usaha warung harian itu kian nelangsa.

Sejak setahun terakhir sang suami tercinta terpaksa mencari kerja ke kawasan Koto Gasib, Siak. Jarak antara 'ladang rezeki baru' itu dengan Pekanbaru lebih kurang 60 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam 45 menit perjalanan darat. "Sebelumnya bapak bekerja di Jalan Garuda Sakti, namun karena tak ada lagi rezeki disana, cari kerjalah ke Koto Gasib Siak," tambahnya sembari sesekali menarik masker, kadang menarik ujung jilbab berwarna merah muda yang dipakainya.

Di perantauan baru itu, rezeki sang suami hingga saat ini tak jua menampakkan titik cerah. Konon, ia berani 'banting stir' dari pekerja bangunan di Garuda Sakti, lalu menjajal diri sebagai pekerja kebun disana berharap ada seberkas sinar bakal menerangi kehidupan keluarganya. Sayangnya, harapan tinggal harapan.

Satu purnama pun kini berlari tanpa permisi. Sang suami belum bisa pulang dari mengais rezeki, karena upah yang dijanjikan tak jua jatuh dalam pelukan.


Maka, saat menjadi penerima manfaat Program Ekonomi Rotte Foundation, Suprihatin amat bersyukur. Warung hariannya bakal kembali berdegup dan berisi berbagai dagangan, melalui Program Ekonomi Rotte Foundation yang dikembangkan berbasis akad dana kebajikan (Qardhul Hasan), Suprihatin mendapatkan pinjaman modal usaha.

Di bagian lain, tepatnya di kawasan Simpang Tiga. Zaspi (51), salah seorang sopir oplet di Pekanbaru. Sehari-hari ayah tiga anak ini tak ubahnya seperti mengukur setiap inci sisi kota ini. Berharap, banyak penumpang yang menaiki opletnya. Tapi itu tadi, zona merah telah membuat warga berpikir seribu kali jika hendak keluar.

Bukan saja soal jaga jarak, soal memakai masker, pembatasan sosial, namun beberapa sentra belanja ataupun sektor usaha, instansi pemerintah ataupun swasta belum membuka layanan purna seperti biasa. Apalagi dunia pendidikan, anak sekolah masih belajar dari rumah. Padahal, bukan tak mungkin para siswa berseragam itu yang girang bukan kepalang menaiki opletnya.

Selimut kecemasan memagutnya tanpa ampun, kala ketiga anaknya masih mencecap usia sekolah. Zaspi sadar betul, pendidikan salahsatu pintu utama membuka cakrawala dunia. Apalagi kini, ketiga anak itu tumbuh kembang dalam ketiadaan belaian kasih sayang sang ibu. Sang Pencipta menjemput ibu ketiga anak itu terlebih dahulu beberapa waktu lalu.


Dengan adanya Program Beasiswa Yatim dan Dhuafa Rotte Foundation, si sulung Ismail (16) yang tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tahfiz Quran Munawwarah, kembali sumringah. Bantuan biaya pendidikan yang sudah diberikan Rotte Foundation kurun 1,5 tahun belakangan kiranya meringankan langkah Zaspi dalam mengantarkan ketiga anaknya menuju gerbang cita-cita. "Terima kasih banyak dermawan Rotte Foundation," ujarnya menerawang.

Boleh jadi, potret Suprihatin dan Zaspi mewakili jalan terjal jutaan warga lainnya yang menjalani hidup sebagai pedagang kecil, sopir oplet, wong cilik, dimana harapan mereka kerap tersandung diayun gelombang kehidupan. Apalagi pandemi yang notabene tiada sinyal hendak pamit dari muka bumi.

Nah, sebagai orang yang tergolong mampu apa yang dapat kita lakukan? Tentu kita juga dapat berbuat loh Sahabat/Dermawan Rotte. Hal ini juga menjadi kepedulian kita bersama sebagai sesama manusia untuk saling bahu membahu.

Apa yang dialami Suprihatin, Zaspi dan saudara kita yang kurang beruntung dalam hidupnya, menjadi perhatian Rotte Foundation.

Sebagai lembaga yang diamanahi masyarakat mendayagunakan dana infak, sedekah dan wakaf, Rotte Foundation wajib membantu dan memberdayakan para kaum dhuafa. Sekali lagi, karena memang membantu mereka yang kurang beruntung adalah bentuk kepedulian kita bersama. [*]

 

Scroll to top